oleh

Sintia Hapsyah Rahman

Terlahir sebagai perempuan seolah-olah harus siap untuk menerima stigma dari masyarakat. Budaya dan nilai patriarkis yang terkonstruksi membuat peran perempuan seakan-akan diopresi sehingga kehadirannya hanya berfungsi sebagai objek seksualitas dan pengelola dapur, budaya inilah yang melahirkan stigma-stigma tertentu pada perempuan. Kurnianto (2016) menyatakan bahwa stigma yang diberikan pada perempuan datang dari berbagai aspek dan membatasi ruang dan aktivitasnya dalam menyuarakan isu tertentu sehingga menjadikannya sebagai kaum subordinat. Melalui film Yuni, stigma tersebut diangkat kembali ke permukaan khalayak secara apik dan simpatik dengan tujuan memberikan teguran bahwa Yuni itu ada dan dia adalah kita; perempuan-perempuan Indonesia yang secara terpaksa tertindas akibat kultur dan nilai patriarki yang masih mengekang kuat dalam konstruksi masyarakat. Yuni mengangkat berbagai isu perempuan seperti pernikahan anak, sistem pendidikan yang seksis, objektifikasi perempuan, dan stigma tak berdasar yang diberikan pada perempuan dalam sepanjang hidupnya. Keberhasilan isu yang diangkat dalam film ini juga dipengaruhi oleh pemilihan poster yang disebarluaskan pada khalayak. Kemunculan poster film menjadi salah satu alat promosi yang sangat penting agar informasi dapat ditangkap audiens, poster harus memiliki “daya tangkap” atau stopping power yang kuat. Poster film Yuni dinilai berhasil mengemas dan memberikan gambaran kecil terhadap pesan yang diangkat dari film tersebut.

Telah kita sadari bahwa saat ini poster telah menjadi salah satu media massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca. Poster memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi kepada calon penonton tentang gambaran umum dari suatu film. Tulisan kalimat/doodle dalam poster film Yuni bukan hanya sebatas bentuk frasa biasa namun mengandung tanda, makna dan konteks sosial yang kompleks. Memilih teori semiotika sosial Halliday M.A.K menjadi pilihan yang tepat bagi penulis sebab teori ini berfokus pada analisis lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud bukan kata dalam satuan yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotika sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

M.A.K. Halliday dan Ruqaiyya Hassan yang dikutip oleh Ibnu Hamad (2007:15) menyatakan bahwa semiotika sosial memuat tiga komponen penting, yaitu: 1) Medan Wacana (field of discourse) yang menunjuk pada hal yang terjadi, seperti apa yang dijadikan wacana oleh media massa mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan. 2) Pelibat Wacana (tenor of discourse) yang merujuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (media) seperti sifat orang-orang, kedudukan dan peranan mereka dalam sebuah wacana. 3) Sarana Wacana (mode of discourse) yang menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa seperti bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip). Wacana ini merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk media yang dipilih, apakah lisan atau tulisan.

Medan wacana (field of discourse) dalam analisis ini adalah tanda tekstual yang terdapat pada poster film Yuni dan bagaimana film ini mencoba merepresentasikan stigma yang selalu ditujukan pada perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Film ini pada dasarnya bercerita mengenai seorang gadis SMA bernama Yuni yang berasal dari keluarga dan lingkungan yang sangat terikat pada tradisi. Hidupnya yang dipenuhi oleh dogma dan tuntunan masyarakat terkait bagaimana perempuan harus berperilaku sesuai norma di daerahnya. Keadaan tersebut membatasi kebebasan dirinya sebagai perempuan dan membuatnya mendapatkan perlakuan diskriminasi dari sekitar. Pelibat wacana (tenor of discourse) merujuk pada Yuni sebagai representasi remaja perempuan Indonesia yang terjebak dalam belenggu patriarki, agama, dan identitas gender. Film ini menggambarkan tentang problematika seputar keperawanan dan pernikahan di usia dini yang masih melekat dalam lingkungannya. Sepanjang jalannya mengeksplorasi masa muda dan belajar mengambil pilihan, Yuni kerap dihadapi dengan tamparan budaya patriarkis yang memerintahnya untuk mundur dan kembali pada adat masyarakat setempat.

Sampai saat ini budaya patriarki masih terus terkonstruksi di tatanan masyarakat Indonesia. Budaya inilah yang melahirkan stigma-stigma tertentu pada perempuan. Salah satu stigma tersebut adalah istilah “sumur, dapur, kasur” yang dilabelkan pada perempuan. Dapur, sumur, kasur merupakan istilah yang sering disetereotipkan pada perempuan. Dalam masyarakat yang menganut sistem partiaki, perempuan sering diposisikan hanya dapat bekerja dalam area domestik saja yaitu rumah tangga. Sehingga jika perempuan mencoba untuk membebaskan diri dari stigma tersebut masyarakat akan menganggapnya sebagai tindakan menyalahi kodrat dan tradisi. Pandangan masyarakat belum menunjukkan adanya kepercayaan terhadap perempuan terutama berkaitan dengan tanggung jawab sebagai pemimpin. Hal itupun terjadi pada Yuni.

Sarana Wacana (mode of discourse) merujuk pada wacana yang tertulis pada poster film Yuni, tulisan-tulisan itu dinilai berhasil memotret isu kesetaraan gender dan stigma yang diberikan pada perempuan di Indonesia. Wacana tersebut tertulis sesuai dengan apa yang biasa masyarakat tuturkan, diantaranya seperti “masak, nyuci, ngepel, ngurus anak”, “anak perawan gak boleh duduk depan pintu, nanti gak dapet jodoh”, “istri harus nurut suami”, “udah ngurus rumah aja”, “sumur, dapur, kasur”, “cepet lulus = cepet kawin”, “ngapain sekolah tinggi-tinggi? Perempuan ujung-ujungnya cuma di dapur” dan wacana lain yang serupa. Selain wacana “sumur, dapur, dan kasur” yang telah dibahas di paragraf sebelumnya, terdapat juga wacana “jangan duduk depan pintu nanti tidak laku” dan “jangan menolak lamaran lebih dari dua kali, nanti jadi gak ada yang mau”. Dari pantangan tersebut dapat ditarik sebuah esensi bahwa perempuan belum bebas menentukan pilihannya sendiri akibat adanya pantangan dan stigma yang terus ditujukan. Pantangan tersebut menjadi salah satu alasan mengapa perempuan terus terpenjara dan tidak memiliki kebebasan pribadi sebagai sesama makhluk hidup.

Selanjutnya ada wacana yang berbunyi “ngapain sekolah tinggi-tinggi? Perempuan ujung-ujungnya cuma di dapur”. Film ini menampilkan representasi budaya pernikahan dini yang sudah ternormalisasi. Bahkan para orang tua menganggap menikah di bawah usia legal adalah hal yang wajar. Kebanyakan anak perempuan diperintah untuk segera menikah oleh orang tuanya dengan alasan mematuhi hukum adat-istiadat yang ada sejak jaman nenek moyang dan anjuran agama. Selain alasan itu ada salah satu alasan yang sangat menarik yaitu “jika ada yang meminta, sangkal untuk ditolak”. Hal itu terjadi karena kekhawatiran orang tua agar anak perempuannya selamat dari mitos perawan tua jika menolak lamaran. Alasan ekonomi pun juga menjadi latar belakang orang tua segera menikahkan anaknya perempuannya, sehingga pendidikan tidak dianggap penting untuk perempuan.

Dalam hal ini, lagi-lagi patriarki membuat perempuan seolah-olah tidak memiliki kebebasan dan berhak menentukan pilihannya sendiri. Padahal memiliki kesadaran terhadap pendidikan dapat memberikan dampak positif bagi perempuan sebab perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak baik dari segi pendidikan formal maupun spiritual. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak konteks sosial yang direpresentasikan dalam poster film Yuni. Stigma yang masih melekat pada perempuan hadir karena masih adanya nilai patriarki yang tertanam dalam konstruksi sosial masyarakat. Hal tersebut membuat perempuan tidak bisa mengakses hak-hak yang setara seperti laki-laki, seperti hak untuk mengenyam pendidikan dan hak untuk mempunyai pilihan tanpa adanya pemberian stigma dari lingkungan sekitar.

Redaksi: Jatmika Nurhadi