oleh

Rizka Ramadania

Internet merupakan wadah yang sangat mendukung terjadinya bullying antar sesama warga negara. Karakter internet yang dengan mudah dapat menghubungkan setiap individu yang melampaui batas negara serta penggunaan secara interaktif dan non interaktif adalah keniscayaan yang terjadi saat ini dan menimbulkan banyak problematik di kalangan masyarakat (Danrinvanto, 2010). Di zaman yang semakin berkembang dengan banyaknya pengguna media sosial, dan betapa mudahnya memberikan kata-kata bahkan pada orang yang belum pernah kita jumpai sebelumnya, membuat bagaimana cyberbullying sangat mudah dilakukan.

Pada pengguna internet yang tidak bertanggung jawab dengan mudahnya mengetikkan kata-kata yang menghina, merendahkan, memaki dan bahkan pelecehan yang dapat menghancurkan orang lain dengan mudah, beberapa dari mereka pada akhirnya memilih mengakhiri hidupnya. Kasus cyberbullying yang terus terjadi dan tidak mereda di kalangan remaja, diakibatkan tidak adanya keberanian dari para korban untuk bersuara, dan menganggap jika mereka sendirian, tidak akan yang dapat membantu.

Banyak efek yang disebabkan oleh cyberbullying, sekitar 41% mengalami kecemasan sosial, 37% merasa depresi, dan 26% memilik pemikiran bunuh diri. Ada banyak kata-kata yang dapat digunakan dalam cyberbullying yang ambiguitas, dan memberikan makna tersembunyi dalam perkataannnya, karena itu teori pragmatik pun digunakan dalam analisis data. Teori analisis pragmatik digunakan dalam pengungkapan makna yang dimunculkan dalam kasus cyberbullying yang sangat terbuka, dan atas adanya kebebasan berpendapat dalam penggunaan internet ataupun media sosial. Pragmatik sebagai kajian struktur eksternal bahasa mengamati berbagai aspek pemakaian bahasa dalam situasi konkret. Situasi yang konkret dalam mengandaikan sebuah tuturan benar-benar dipandang sebagai produk sebuah tindak tutur yang jelas konteks lingual dan konteks ekstralingual (Wijana, 2001: 215).

Konteks ekstralingual digunakan untuk mengungkapkan maksud (makna penutur) yang tersembunyi di balik sebuah tuturan. Menurut Tarigan (1985:34) pragmatik merupakan telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks memengaruhi cara seseorang menafsirkan kalimat. Pendapat lainnya disampaikan Leech (1993:1) bahwa seseorang tidak dapat mengerti benar-benar sifat bahasa bila tidak mengerti pragmatik, yaitu bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Pernyataan ini menunjukan bahwa pragmatik tidak lepas dari penggunaan bahasa.

Ada empat ruang lingkup yang tercakup dalam pragmatik, yakni (1) pragmatics is the study of speaker meaning, (2) pragmatics is the study of contextual meaning, (3) pragmatics is the study of how more gets communicated than is said, dan (4) pragmatics is the study of the expression of relative distance (Yule 1996: 3). Penjelasan singkat keempat ruang lingkup tersebut sebagai berikut. Pertama, pragmatik merupakan studi tentang maksud penutur, sehingga dalam hal ini diperlukan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang terhadap suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan, serta diperlukan pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang disesuaikan dengan orang lain yang diajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan bagaimana. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Pengertiannya adalah bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar tersampaikan melalui suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur.

Singkatnya, studi ini merupakan pencarian makna yang masih samar. Pengertian lain pragmatik itu mengkaji makna kontekstual tentang makna yang lebih banyak dikomunikasikan daripada apa yang sebenarnya diujarkan. Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana makna yang tersampaikan itu lebih banyak daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan jarak hubungan, artinya jawaban atau interpretasi mitra tutur didasarkan oleh jarak keakraban yang meliputi: keakraban fisik, sosial, konseptual, dan menyiratkan adanya pengalaman yang sama.

Cyberbullying dikategorikan sebagai bullying secara verbal, cyberbullying ini juga biasa disebut juga sebagai perundungan yang dilakukan di dunia maya ketika tindakan tersebut dilakukan untuk mengejek, mengolok, menghina, mencela, bahkan mengancam korban atau pengguna media sosial yang lain. Adapun jenis jenis cyberbullying yaitu: flaming, harassment (gangguan), denigration (pencemaran nama naik), impersonation (peniruan), outing, tricky (tipu daya), exclusion (pengeluaran), cyberstalking. Kemudian bagaimana penerapan terhadap kejahatan Cyberbullying di sosial media dalam hukum positif di Indonesia, mengacu pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ketika suatu penghinaan yang dilakukan di sosial media tercermin pada pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE yang berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Analisis dilakukan dengan kajian pragmatik dalam menganalisis makna yang tersembunyi dalam kata-kata yang tersirat penghinaan, ejekan, makian, ataupun bersifat pelecehan yang terdapat dalam beberapa kasus cyberbullying. Pragmatik yang memberikan informasi lebih mendalam dan mendetail dalam pengungkapan makna yang terkadang terkaburkan karena kata-kata yang ambiguitas, dan tidak adanya pemahaman yang lebih mengenai kebahasaan, maka penelitian ini akan dilakukan menggunakan teori kajian pragmatik sebagai salah satu ilmu linguistik dengan pemahaman mendalam mengenai makna.

Banyaknya kasus cyberbullying yang terdapat di Indonesia, dan perkembangan teknologi yang semakin berkembang membuat banyak massa yang dapat dengan mudah berkomunikasi antar satu sama lain, namun hal tersebut dapat sertai dengan munculnya para pengguna tidak bertanggung jawab yang dengan mudah melontarkan penghinaan dalam ketikan yang akan terus diingat oleh korban dengan dampak yang jelas merusak korban, menjadikan kasus cyberbullying menjadi kasus yang cukup serius untuk ditangani dan diteliti.

Penggunaan kata kebahasaan yang menyakiti seseorang dapat dengan mudah menghancurkan hidup seseorang, sebuah kata yang diketik dengan mudah oleh jari jemari kita, perlahan menggerogoti mental seseorang. Membuatnya kehilangan kepercayaan diri, tidak dapat berbaur dengan orang lain atau bahkan menimbulkan depresi yang dapat berujung pada kematian. Secara tidak langsung kita dapat membunuh seseorang dengan mudah hanya dengan kata-kata yang kita berikan padanya dalam media sosial mana pun, dan kebebasan berpendapat membuat para pengguna bisa menjadi tidak bertanggung jawab atas kata-kata yang diberikan. Diharapkan adanya ke hati-hatian, dan tanggung jawab dalam penggunaan internet maupun media sosial yang semakin canggih dan mudah untuk diakses. Kajian dalam ilmu kebahasaan dapat digunakan dalam analisis kasus cyberbullying serta menjadi upaya dalam mengurangi cyberbullying yang terjadi di Indonesia.

Redaksi: Jatmika Nurhadi