oleh

Noer Umayah

Lembaga pendidikan merupakan sebuah ruang belajar formal yang didedikasikan untuk mendidik seseorang memahami kehidupan yang lebih baik melalui berbagai ilmu. Pendidikan di Indonesia tentu didasari oleh falsafah Pancasila yang seharusnya menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan. Namun, belakangan ini marak terungkap berbagai kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan Lembaga Pendidikan. Pelecahan seksual oleh masyarakat sampai saat ini hanya dianggap jika melakukan kontak fisik seperti meraba atau memeluk, padahal pelecehan seksual termasuk ketika adanya ucapan, tulisan, isyarat, tanda, atau kegiatan yang memiliki konotasi ke arah seksual dan adanya unsur pemakasaan hak oleh pelaku, kejadian yang tidak diinginkan korban, serta adanya akibat yang diterima oleh korban (Rahmawati, 2019). Fakta lainnya yang terjadi, yaitu banyak korban pelecehan seksual yang memilih untuk diam dan tidak melaporkannya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan masyarakat yang selalu menyalahkan korban karena dianggap tidak dapat menjaga dirinya, pemahaman yang mengakar itu membangun stigma bahwa korban adalah salah dan pelaku adalah benar. Padahal dalam berbagai kasus yang terjadi adalah pelanggaran hak individu yang dirampas dan dipaksa oleh pelaku sehingga berdampak traumatis terhadap korban, kondisi masyrakat yang beranggapan demikan membuat korban memilih untuk diam karena timbulnya rasa takut untuk disalahkan, tidak didukung, dicemooh, bahkan dijauhkan dari lingkungan sosial.

Menanggapi hal tersebut, berbagai cara dilakukan guna meningkatkan edukasi masyarakat terkait pelecehan seksual. Seperti hal nya dalam pembuatan karya-karya yang dapat dikonsumsi dengan mudah dan ringan dicerna oleh masyarakat umum. Salah satunya adalah sebuah Film, dimana di dalam film mengandung aspek audio, visual, dan teks yang menarik perhatian masyarakat dalam menikamti karya tersebut dan didalamnya juga terdapat realitas-realitas yang dapat dilihat secara nyata keberadaannya. Penyampaian pesan dalam film melalui banyak tanda di tiap adegannya, sehingga ada beberapa tanda dalam adegan tersebut harus dianalisis lebih mendalam dengan sebuah kajian untuk mengungkap makna lainnya yang dilesapkan pada adegan tersebut. Ilmu yang dapat digunakan dalam analisis tanda untuk mengungkap sebuah makna adalah semiotika. Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Analisis semiotika untuk mengkaji tanda di dalam skenario, teks, gambar, dan apapun yang berkaitan dengan tanda atau sesuatu yang perlu dimaknai sehingga film dapat dianalisis menggunakan analisis semiotika.

Roland Barthes dalam analisis semiotika menekankan sebuah interaksi antara teks dengan pengalam personal maupun kultural penggunanya serta pada interaksi antara konvensi dalam sebuah teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya sehingga munculnya gagasan Signifikasi Dua Tahap. Signifikasi tahap pertama adalah hubungan penanda dengan petanda di dalam tanda terhadap realitas eksternal atau disebut denotasi (makna paling nyata dari tanda). Pada siginifkasi tahap dua adalah adanya penggambaran interaksi ketika tanda bertemu dengan emosi pembaca dan nilai-nilai dari kebudayaannya atau disebut juga sebagau konotasi. Menurutnya sebuah sebuah konotasi identik dengan operasi ideologi yang bisa disebut dengan mitos yang berfungsi untuk menjelaskan dan mengungkap kebenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu.

Pada praktiknya, analisis ini akan mencari data berupa tanda-tanda seperti audio, visual, dan teks di dalam film yang dapat dikategorikan sebagai penanda dan petanda. Data tersebut secara konkret dapat berupa kutipan percakapan dan tangkapan layer adegan di dalam film. Data-data tersebut kemudian dianalisis dengan tahapan analisis semiotika model Roland Barthes. Namun, sebelum masuk pada pembahasan analisis tanda, akan dipaparkan identitas karya atau film yang akan dianlisis, kemudian penokohan, dan sinopsis dari film tersebut. Sehingga dalam mengalisis tanda dapat dengan mudah dipahami.

Pada tabel analisis teori ini terdapat bagian kolom untuk menyatakan data visual, audio/scene/percakapan/bahasa isyarat, dan tipe pengambilan gambar. Kemudian, setelah data itu makan tabel dibawahnya akan berisi makna denotasi, makna konotasi, dan mitos. Dalam penjabaran tiap tanda yang di dapat peneliti akan menjabarkan hal-hal yang berjaitan dengan tabel data. Seperti tabel yang berisi penjabaran makna konotatif yang dibenturkan dengan ideologi masyarakat pada saat itu sehingga adanya mitos yang dijelaskan untuk memberikan pembenaran terhadap makna konotasi tersebut. Hasil analisis ini akan merujuk pada tindakan dimana tokoh di dalam film melakukan praktik pengungkapan pelaku pelecehan seksual yang terjadi pada dirinya dilingkup kampus.

Pada akhirnya, banyak aktivis dan aktivitas saat ini yang berupaya untuk mendobrak stigma masyarakat terhadap pelecehan seksual. Terutama pada korban kekerasan seksual yang kerap kali berujung melakukan tindakan yang mengarah pada menghilangkan nyawa. Ironi sekali hal tersebut terjadi jika dilihat ketika ruang media yang seharusnya memberi banyak kesempatan untuk bertukar pikiran justru disalah gunakan untuk melakukan pelecehan bahkan bentuk tinkdakan cemooh pada korban pelecehan. Saat ini, berbagai kasus pelecehan banyak terungkap di media sosial, sayangnya beberapa kasus disoroti oleh masyarakat ketika korban telah meninggal dunia.

Ada baiknya pencerdasan dalam bentuk karya atau analisis penelitian mengenai pencerdasan masyarakat dapat diunggah dengan bahasa yang mudah diterima oleh masyarakat. Sosialisasi dan bentuk lainnya guna menunjang hal tersebut harus dapat disampikan dengan hal sederharna yang dapat menarik minat masyarakat untuk mencermati maksud dari apa yang hendak disampaikan. Agar pesan tidak disampaikan pada ruang yang kosong dan banyak korban yang memiliki rasa aman untuk dilindungi dan dibela atas hak dirinya sendiri.

Redaksi: Jatmika Nurhadi