Akhir-akhir ini istilah gaslight sering kita jumpai di berbagai platform media. Banyak kasus yang sudah cukup mendeskripsikan apa itu gaslight. Seperti contoh kasus yang sering terjadi, yaitu permasalahan dalam sebuah hubungan. Untuk menghilangkan jejak, dan tidak mau disalahkan, pihak laki-laki atau pun perempuan memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat pasangannya merasa bersalah, dan memosisikan dirinya menjadi korban.

Definisi gaslight versi Oxford Language, yang diartikan dalam bahasa Indonesia adalah: Memanipulasi orang dengan cara psikologis sehingga mereka mempertanyakan kewarasannya. Hal tersebut dilakukan kepada orang lain guna mendapat kekuatan atau perasaan dirinya yang paling benar. Selain itu, gaslighting termasuk ke dalam kelainan psikologis yang disebut gangguan kepribadian narsistik atau narcissistic personality disorder. Pelaku gaslighting biasa disebut gaslighter. Gaslighter memiliki hubungan yang erat dengan perilaku kekerasan, diktaktor, narsis dan pemimpin yang selalu ingin dianggap benar. Gaslighter biasanya akan menggunakan kepercayaan dari korbannya untuk mendapat kontrol atas suatu target, mendiskreditkan orang lain, serta menggunakan hal-hal baik di masa lalu dengan bahasa-bahasa yang dia rangkai sedemikian rupa untuk memanipulasi. Oleh karena itu, korban akan merasa tersakiti secara emosional, bahkan tak jarang mengganggu psikisnya dan kehidupan sehari-hari.

Preston Ni (2019) menjelaskan sisi psikologis di balik tahapan Gaslighting dalam hubungan. Menurutnya tahapan Gaslighting bervariasi dalam tiap situasi, tetapi berikut adalah hal-hal yang biasa terlibat dalam situasi tersebut:

1. Kebohongan dan membesar-besarkan: pelaku Gaslighting dapat memberikan narasi negatif hanya berdasarkan asumsi dan tuduhan.

2. Pengulangan: pelaku akan menciptakan sebuah pola penyerangan untuk mempertahankan dominasi atau kekuasaannya dalam sebuah hubungan.

3. Meningkat ketika tertantang: ketika pelaku dikonfrontasi atas kebohongannya, pelaku akan melawan dengan menyangkal, menyalahkan, dan memberikan klaim palsu demi menanam keraguan di dalam diri korban.

4. Melemahkan korban: korban kehilangan kepercayaan atas dirinya akibat serangan yang terus menerus dilemparkan oleh pelaku.

5. Pembentukan hubungan berketergantungan: segala keputusan atau langkah yang ingin diambil korban berada di tangan pelaku. Pelaku Gaslighting menciptakan sebuah hubungan berketergantungan atas dasar rasa takut, ketidakberdayaan, dan marginalisasi korban.

6. Memberikan harapan palsu: dalam beberapa momen pelaku akan menunjukkan kepribadian yang dapat meluluhkan korban, hal ini membuat korban berfikir bahwa ada perubahan yang lebih baik. Namun, semua itu hanya taktik manipulasi yang digunakan pelaku untuk mempertahankan hubungan dengan korban.

7. Dominasi dan kontrol: objektif pelaku adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas diri korban. Biasanya tidak hanya korban itu sendiri, tetapi juga lingkungan di sekitar korban.

Gaslighting merupakan bentuk kekerasan psikis yang berbahaya yang dapat menimpa siapa pun. Dalam kasusnya di Indonesia, banyak korban Gaslighting adalah perempuan dikarenakan kultur patriarki yang masih kental. Kekerasan psikis kurang diberi perhatian seperti kekerasan fisik sebab kekerasan psikis tidak kasat mata. Kekerasan psikis tidak hanya membahayakan korban, melainkan juga lingkungan korban.

Redaksi: Jatmika Nurhadi