Ketika suatu musibah terjadi pastinya orang akan mengekspresikan perasaan duka tersebut melalui kata-kata. Kata-kata tersebut seharusnya melambangkan jati diri sebagai warga negara yang bersimpati terhadap musibah tersebut, tetapi coba perhatikan peristiwa dibawah ini.

Kita pasti tidak asing dengan kata “pray for” sebagai salah satu pengungkapan yang sering dipakai oleh warganet sebagai sebuah bentuk ungkapan duka atas sebuah musibah. Seperti contohnya pada peristiwa letusan gunung Semeru tanggal 4 Desember 2021. Pada fenomena tersebut dapat terlihat jelas netizen atau warganet lebih memilih menyampaikan ungkapan duka dengan kalimat “Pray for Semeru”, berdasarkan peritiwa tersebut saya jadi ingin mengetahui mengapa warganet atau netizen lebih memilih menggunakan bahasa inggris ketimbang bahasa Indonesia? Apa urgensinya sehingga warganet menggunakan bahasa inggris? Apakah tidak ada dalam kosakata bahasa Indonesia yang mewakili ekspresi duka yang dimaksud dalam bahasa inggris tersebut?

Lalu berdasarkan penjabaran peristiwa diatas dapat dipastikan bahwa fenomenanyanya sangat cocok dikaji menggunakan teori sosiolinguistik. Mengapa begitu? Pertama-tama mari kita mengerti dahulu esensi dasar dari sosiolinguistik itu. Sosiolinguistik ialah subdisiplin linguistik yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat. Dengan kata lain, sosiolinguistik mempelajari pemakai dan pemakaian bahasa, tempat pemakaian bahasa, tata tingkat bahasa, berbagai akibat dari adanya kontak dua bahasa atau lebih, dan ragam serta waktu pemakai ragam bahasa.

Mari kita sederhanakan pengertian tersebut, pada dasarnya sosiolinguistik itu mengkaji tentang orang yang memakai bahasa dan bahasa yang dipakai tersebut serta mengapa suatu bahasa tertentu itu digunakan oleh seseorang. Dengan kata lain jika fenomena diatas dikaji dengan sosiolinguistik analisisnya akan terfokus pada warganet, bahasa inggris yang dipakai, dan alasan kenapa warganet memilih bahasa tersebut. Dapat dipahami berdasarkan penjelasan yang sudah ada berarti kita akan dapat mengerti mengapa warganet berbicara secara berbeda dalam konteks sosial yang berbeda.

Setelah paham dengan teori untuk analisisnya mari kita lanjut ke bagian analisisnya. Objek yang akan analisis adalah warganet, bahasa inggris yang dipakai, serta alasan mengapa bahasa inggris lebih dipilih warganet untuk mengekspresikan perasaan duka dalam fenomena diatas.

Fenomena ini terjadi pada platform sosial media terutama di instagram, tiktok dan twitter, tetapi tidak terkecuali juga di kanal youtube CNN Indonesia menggunggah video dengan tagar PrayforSemeru. Sebenarnya kita harus tahu dulu bagaimana pola pikir warganet agar dapat mengerti alasan dibalik terjadinya fenomena diatas.

Indonesia yang sebanyak 64,8% penduduknya sudah menggunakan Internet dan 160 Juta jiwa merupakan pengguna sosial media, membuat Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan oleh para pelaku industry sosial media, seperti aplikasi Tik Tok. Banyak inovasi yang muncul sejak ada media sosial. Pertumbuhannya semakin masif karena daya kreativitas warga internet (warganet) yang tidak terbatas, termasuk dalam aktivitas bertutur atau menyampaikan pendapat. Sering kali tuturan yang disampaikan oleh warganet pada konten informasi tertentu disampaikan dengan logis. Namun, ada juga beberapa komentar yang dituturkan di media sosial tersebut tidak logis. Media sosial memungkinkan ekspresi individu menjadi konsumsi publik sehingga mendorong pada aksi narsis dan eksis di dunia maya. Kembali lagi ke permasalahan yang sebenarnya ingin dibahas yaitu “Bahasa Inggris Tak Seharusnya ‘Gantikan’ Bahasa Indonesia”.

Seharusnya masyarakat Indonesia jauh lebih pandai bicara bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam hidup sehari-hari di Indonesia, dibandingkan dengan bicara bahasa Inggris dalam hidup sehari-hari antar masyarakat Indonesia. 

Berdasarkan data pada gambar diatas dapat dilihat bahwa 64% dari 170 juta pengguna internet atau warganet di indonesia adalah kaum muda-mudi dengan rentang umur 18-34 tahun. Dimana rentang umur itu adalah saat-saat dimana seseorang ingin narsis dan eksis di dunia maya terutama di media sosial. Lalu bagaimana cara untuk eksis di dunia maya? Menurut warganet caranya adalah dengan menggunakan bahasa inggris karena peningkatan gengsi dan juga keinginan untuk terlihat keren yang dikombinasikan dengan semakin populernya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, kerap membuat orang-orang masa kini cenderung lebih suka bicara bahasa Inggris. Munculnya bahasa asing yang dianggap lebih berkualitas membuat bahasa Indonesia tenggelam dihanyutkan zaman. 

Tak dapat dipungkiri, bahasa Inggris juga sangat dibutuhkan, namun ini tak lantas berarti kalau bahasa Indonesia tak lagi keren dan dikurangi demi alasan biar jadi lebih gaul. Selain itu hal yang sebenarnya membuat fenomena penggunaan bahasa inggris sebagai ungkapan duka di tanah air mungkin terjadi adalah budaya yang sudah lama ada di Indonesia yaitu “Budaya Ikutikutan”, dimana seseorang mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain karena itu terlihat keren, tidak peduli hal itu baik atau buruk, benar atau salah.

Berdasarkan analisis diatas kita dapat mengerti bahwa sebenarnya ada kata dalam bahasa indonesia yang mewakilkan ungkapan duka “PrayforSemeru” seperti berdoa untuk Semeru, atau mari berdoa untuk Semeru, namun dikarenakan pola pikir warganet yang menganggap bahwa ungkapan duka dengan bahasa Indonesia itu tidak sekeren ungkapan dengan bahasa inggrisnya, dan juga dorongan warganet untuk eksis dan mengikuti tren makanya warganet memilih mengikuti ungkapan bahasa inggris yang ada dan malah melupakan bahwa sebenarnya perasaan atau ungkapan duka tersebut bisa disampaikan juga melalui bahasa Indonesia yang merupakan bahasa Nasional dan seharusnya menjadi kebanggaan warga Indonesia.

Pada akhirnya itu semua juga terjadi karena “Budaya Ikut-ikutan” memang mendarah daging di Indonesia ini. Mungkin kita sudah seharusnya mengubah persepsi bahwa bila dapat berbicara Bahasa asing maka akan terlihat lebih pintar, berpendidikan, dan keren. Sebagai pemakai bahasa Indonesia, masyarakat Indonesia seharusnya bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Namun, dari berbagai kenyataan yang terjadi, tidaklah demikian. Rasa bangga dalam berbahasa Indonesia belum tertanam pada diri setiap orang Indonesia. Rasa menghargai bahasa asing masih terus terlihat pada sebagian masyarakat Indonesia, karena mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Bahkan mereka seolah merasa tidak mau tahu perkembangan bahasa Indonesia. Di era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia.

Penulis: Gabriel Stephen Setiawan