Karya sastra islami yang diadaptasi menjadi film rupanya cukup banyak menarik perhatian masyarakat Indonesia. Di tahun-tahun terakhir sejak kemunculan film Ayat-Ayat cinta, kemudian bermucuan film-film islami seperti Perempuan Berkalung Sorban, Sang Kiai, Ajari Aku Islam, dan lain-lain, lalu pada akhirnya Ayat-Ayat Cinta 2 hadir sebagai lanjutan film Ayat-Ayat Cinta pertama.

Hal yang menjadi menarik dari film tersebut tentunya karena latar yang diambil dari Ayat-Ayat cinta 2 bukan di mesir tempat Fahri mencari ilmu, tetapi setting diubah menjadi di Eropa. Fahri mengajar sebagai dosen di salah satu universitas ternama. Dalam film tersebut juga memperlihatkan bagaimana orang-orang membenci muslim sebagai sesuatu yang kerap disebut sebagai teroris. Hadirnya teroris di tengah masyarakat eropa menjadikan perspektif masyarakat kepada Islam menjadi sedikit buruk, film Ayat-ayat Cinta 2 merekam hal tersebut. Tentu saja film sangat berperan banyak untuk mengomunikasikan moralitas yang selama ini mungkin saja tidak terlihat dengan jelas di hadapan masyarakat Indonesia.

Dialog film sangat menarik perhatian jika dikaji menggunakan ilmu pragmatik. Sebab pragmatik dapat menangkap maksud tuturan yang disampaikan dalam sebuah wacana. Sedangkan dalam film sendiri, terkadang penonton bertanya-tanya maksud dari tuturan yang disampaikan oleh aktor dalam film dengan wacana yang sedang terjadi di dalamnya. Jika hal tersebut tidak berhasil dicerna oleh penonton maka hasilnya penyampaian dalam film tidak berpragmatis, atau makna yang dijelaskan oleh pemilik tuturan tidak dapat dicerna dengan baik.

Salah satu adegan yang kontroversial adalah ketika Fahri sedang melaksanakan salat di kelas. Kelas tersebut tentu berisi orang-orang non Muslim. Keadaan Fahri yang salat di depan kelas membuat penonton barangkali memiliki dua pertanyaan, apakah tidak ada musala atau masjid? Apa yang membuat dirinya terburu-buru sehingga harus salat di kelas dan membuat siswa-siswa lainnya kurang menyukai Fahri? Dari dua pertanyaan tersebut setidaknya ada tuturan-tuturan dalam dialog yang bernada sedikit mencemooh Fahri karena salat di kelas. Tentu saja kelas bukan tempat untuk salat. Maka dari tuturan-tuturan yang hadir, ditemukan beberapa lokusi, perlokusi dan ilokusi.

Wijana (1998:20) mengatakan bahwa tindak tutur lokusi merupakan tindak tutur yang makna dari frasa, kata, dan kalimatnya sesuai dengan yang terkandung. Lokusi juga dikatakan sebagai tuturan yang memiliki makna harfiah, sedangkan ilokusi merupakan kalimat performatif yang eksplisit, dan perlokusi adalah tindak tutur yang memiliki makna di baliknya supaya mitra tutur bertindak seperti apa yang diharapkan.

Dalam analisis pragmatik, konteks yang membangun sebuah wacana menjadi sangat diperlukan. Leech  (1989: 3) mengartikan bahwa konteks sebagai pengetahuan latar belakang tuturan yang sama-sama dimiliki baik oleh penutur atau penutur yang membantu menafsirkan makna. Di menit awal diperlihatkan Fahri yang berstatus sebagai dosen  cadangan sedang melakukan salat di kelas, dan seorang mahasiswa tiba-tiba mengatakan:

“Seorang teroris berjas yang sedang memamerkan keagamaannya di hadapan kita semua. Apa? Jangan tertipu sama penampilannya. Sebentar lagi kita akan dididik oleh seseorang dari negara terbelakang.”

Kemudian mitra tutur lain membalasnya dengan kalimat berikut:

“Mengejutkan sekali zaman sekarang masih ada sikap dungu dan rasis.”

Dalam kedua teks tersebut dapat dilihat bahwa konteks yang membangun wacana percakapan adalah ketika seorang muslim salat di kelas yang mayoritas dalam kelas tersebut beragama Nasrani. Kemudian konteks lainnya yang mendukung latar belakang percakapan tersebut adalah, kelas yang mayoritas adalah Nasrani merupakan sebuah universitas ternama di Eropa. Maka alasan mengapa Fahri dikatakan sebagai “Seorang teroris berjas yang sedang memamerkan keagamaannya di hadapan kita semua” dikarenakan mayoritas di kelas yang merupakan Nasrani melihat seorang Muslim beribadah, maka sebetulnya penutur memaknai bahwa Fahri tidak lebih sebagai teroris, atau orang yang keberadaannya tidak disukai serta dianggap ancaman bagi publik.

Kemudian penutur mengatakan bahwa “kita akan dididik oleh seseorang dari negara terbelakang.” Dalam kelas tersebut, didominasi oleh orang Eropa, dan hanya Fahri yang merupakan warga negara Indonesia, bagi masyarakat eropa jika melihat latar belakang sejarah dan politik, Indonesia merupakan negara bagian ke tiga dan masih berkembang. Maka memang terlihat bahwa penutur ingin menunjukkan bahwa dirinya yang merupakan dari bangsa barat lebih unggul dibandingkan orang dari negara bagian ke tiga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak tutur yang dilakukan oleh penutur satu dalam dialog film Ayat-Ayat Cinta 2 merupakan tindak tutur ilokusi deklarasi, atau tindak tutur yang sebetulnya ingin memberikan penghinaan atau menjatuhkan subjek dalam wacananya.

“Mengejutkan sekali zaman sekarang masih ada sikap dungu dan rasis.”

Kalimat ini diutarakan oleh mitra tutur untuk penutur. Ujaran tersebut terjadi karena antara penutur dan mitra tutur saling memahami konteks yang sedang terjadi dalam percakapan. Tuturan di atas merupakan perlokusi. Sebab mitra tutur melakukan ujaran untuk memberhentkan penghinaan penutur terhadap Fahri. Sehingga yang dihasilkan dari ujaran tersebut adalah seisi kelas tersebut diam, padahal mitra tutur yang berujar demikian bukanlah seorang muslim akan tetapi ia memahami hakikat dari toleransi.

Penulis: Mohammad Daffa Anggadirana